Apakah Penerimaan Negara Bisa Membaik di Era Digitalisasi?

TAX NEWS

Apakah Penerimaan Negara Bisa Membaik di Era Digitalisasi?

Penerimaan Negara

Berkembangnya era digitalisasi bukan hanya mengubah kebiasaan dan perilaku masyarakat, tetapi juga mengubah berbagai ranah termasuk ranah pemerintahan hingga  sistem administrasi negara. Negara dituntut untuk adaptif dan resilien terhadap segala perkembangan digital yang begitu cepat, mengimbangi perubahan kebiasaan dan perilaku masyarakat. Untuk itu, negara sedang dalam proses pengembangan produk digital yang digunakan untuk berbagai aspek. Salah satunya adalah penerimaan negara.

 

Tingkat penerimaan negara tentu sangat penting bagi Indonesia, sebab pemasukan ini lah yang nantinya akan digunakan untuk membangun infrastruktur dan optimalisasi pelayanan publik bagi masyarakat. Saat ini, negara sedang berupaya untuk memproduksi berbagai sistem digital yang mampu membantu segala proses administrasi hingga pengawasan penerimaan negara. Salah satu produk yang saat ini sedang gencar dikembangkan dan secara berkala diperbaharui adalah Coretax DJP.

Bisakah Kita Optimis dengan Masa Depan Penerimaan Negara?

Memiliki harapan cerah akan masa depan penerimaan negara kita tentu sah-sah saja, namun akan lebih baik jika diiringi dengan langkah-langkah konkret. Saat ini negara telah berupaya untuk mempermudah segala proses administrasi bagi masyarakat dengan menciptakan Coretax DJP—sistem administrasi perpajakan yang menyediakan berbagai macam fitur.

 

Meskipun masih dalam tahap perkembangan, sistem ini berpotensi menjadi salah satu portal penerimaan negara terbesar. Melalui sistem ini, Wajib Pajak dapat memenuhi kebutuhan akan perpajakannya, seperti pemenuhan kewajiban, layanan perpajakan, hingga edukasi perpajakan dalam satu tempat yang sama. Kemudahan akses ini mendorong Wajib Pajak untuk patuh terhadap kewajiban perpajakannya, juga mempermudah DJP dalam mengawasi kepatuhan Wajib Pajak. Kita bisa mengandalkan Coretax DJP untuk meningkatkan penerimaan negara dalam bentuk pajak.

 

Untuk mencapai target penerimaan negara, tentunya tak bisa diraih oleh salah satu pihak saja. Baik Wajib Pajak maupun DJP harus bekerja sama dalam mencapainya. Terdapat berbagai hal yang bisa dilakukan oleh Wajib Pajak maupun DJP, terutama pada masa kini yang didominasi dengan generasi muda. Generasi muda yang bertumbuh di tengah masifnya era digitalisasi secara adaptif telah memiliki kecakapan dalam menggunakan teknologi.

 

Peran Generasi Muda bagi Masa Depan Penerimaan Negara

Sebagai Wajib Pajak generasi muda, tentu hal utama yang bisa dilakukan adalah mempertahankan serta meningkatkan kepatuhan terhadap kewajiban perpajakan. Jangan lupakan pentingnya memperkaya diri dengan pengetahuan perpajakan, ini akan membantu Wajib Pajak untuk menjalani kewajiban perpajakan sekaligus pemenuhan hak perpajakan.

 

Generasi muda saat ini menunjukkan ketertarikannya yang kuat terhadap ranah bisnis. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya generasi muda yang sudah merintis usahanya melalui berbagai lokapasar atau media sosial lainnya. Merintis usaha melalui aplikasi digital menjadi pilihan yang cukup digemari, sebab aplikasi digital memiliki efektivitas tinggi dalam menjangkau pasar yang lebih luas serta membantu perintis dalam efisiensi modal awal.

 

PMSE dan Penerimaan Negara

Usaha yang dilakukan secara daring juga dikenal sebagai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Saat ini perkembangan PMSE cukup pesat dan mulai bermunculan usaha-usaha baru di dalamnya. Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Digital pada tahun 2024, sebanyak 79,5% penduduk di Indonesia menggunakan internet. Angka ini menunjukkan jangkauan internet yang sangat luas dan menjanjikan, itulah yang kemudian menjadikan PMSE sangat mudah berkembang di Indonesia.

 

Kemudahan dan efisiensi yang ditawarkan sistem PMSE mengundang begitu banyak pedagang untuk beralih ke penjualan dan transaksi digital. Hal ini juga sejalan dengan berubahnya perilaku masyarakat yang saat ini cenderung lebih senang untuk beraktivitas secara digital, salah satunya membeli barang. Faktor lain yang mendorong perilaku ini adalah ragam jenis produk yang ada di lokapasar jauh lebih beragam. Terlebih lagi, PMSE begitu digemari oleh generasi muda saat ini yang sedang mendominasi populasi di Indonesia.

 

Kondisi PMSE di Indonesia saat ini cukup menjanjikan, maka dari itu pemerintah kini secara resmi mengatur mengenai pengenaan pajak penghasilan atas PMSE dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomo 37 Tahun 2025. Peraturan ini juga menunjuk Penyelenggara PMSE (PPMSE) sebagai pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh 22) bagi pedagang yang bertransaksi di lokapasar. Artinya, PMSE dipandang memiliki potensi yang begitu besar dalam mendongkrak penerimaan negara dalam bentuk pajak maupun bukan pajak (PNBP).

 

Bagaimana dengan Perintis UMKM?

Banyaknya usaha baru yang bermunculan tentunya memberikan kontribusi pada penerimaan negara. Bahkan saat ini UMKM disebut sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia karena kontribusinya pada Produk Domestik Bruto (PBD) nasional mencapai lebih dari 60% berdasarkan Siaran Pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor HM.4.6/27/SET.M.EKON.3./01/2025. Selain itu, UMKM juga membuka lapangan kerja baru dan berhasil menyerap hampir sebanyak 97% tenaga kerja.

 

Untuk memberikan stabilitas dan kelancaran dalam mengembangkan UMKM di Indonesia, pemerintah telah memberikan bantuan berupa fasilitas pajak sebagai berikut:

  1. Pajak Penghasilan (PPh) Final dengan tarif 0,5% bagi UMKM;
  2. Tidak dikenakan PPh Final bagi UMKM dengan omzet tidak lebih dari Rp500 juta per tahun; hingga
  3. UMKM dapat memanfaatkan tarif PPh Final 0,5% selama maksimal 7 (tujuh) tahun dengan melakukan pencatatan.

 

Tak dapat dipungkiri bahwa pengenaan pajak PMSE dikhawatirkan akan menimbulkan beban usaha berlebih bagi para pedagang. Maka dari itu pengecualian dari pemungutan pajak juga berlaku untuk PMSE, PPMSE dilarang untuk memungut PPh dari pedagang UMKM dengan omzet tidak lebih dari Rp500 juta. Namun, pedagang wajib membuktikan bahwa jumlah omzetnya memenuhi syarat dengan menyampaikan surat pernyataan. Pengecualian ini diberikan agar UMKM berkesempatan untuk berkembang lebih besar.

 

Shadow Economy di Era Digitalisasi

Pengenaan pajak terhadap aktivitas transaksi pada PMSE juga merupakan salah satu bentuk upaya pemerintah dalam memberantas Shadow Economy—aktivitas ekonomi yang tidak tampak dari permukaan dan berpotensi terjadinya penghindaran kewajiban. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan penerimaan negara.

 

Shadow Economy belakangan ini sedang menjadi fokus perhatian pemerintah, sebab memiliki potensi pajak yang luar biasa dan dianggap mampu mendongkrak penerimaan negara. Kondisi ini bisa menjadi suatu tantangan sekaligus menjadi suatu peluang bagi pemerintah untuk memanfaatkan sistem digital. Salah satu langkah pemanfaatan sistem digital untuk mengatasi Shadow Economy yang sudah dilaksanakan oleh pemerintah adalah integrasi NIK dengan NPWP dan menerapkan Coretax DJP, untuk mendeteksi dan mengawasi pelaku usaha.

 

Pengenaan pajak tidak bisa sama ratakan pada seluruh pelaku usaha tanpa melihat kondisi finansialnya. Ini lah salah satu hal yang menjadi tantangan dalam mengatasi Shadow Economy. Selain memberikan kepastian hukum dan aturan bagi pelaku usaha yang menjadi target, pemerintah juga wajib mengatur kebijakan yang melindungi pelaku usaha dengan kondisi finansial yang kurang stabil—atau baru merintis usaha. Memberikan edukasi dan layanan konsultasi bagi pelaku usaha pemula melalui sistem digital bisa menjadi alternatif mitigasi timbulnya Shadow Economy.